BAB
I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Thalassemia
adalah penyakit hemolitik bawaan yang disebabkan oleh defisiensi pembentukan
rantai globin alpha atau beta yang menyusun hemoglobin, sehingga dibedakan
menjadi thalassemia alpha dan thalassemia beta. Secara klinis, thalassemia
dibedakan menjadi thalassemia mayor, intermediate dan thalassemia minor.
Thalassemia mayor memperlihatkan gejala klinis sedangkan thalassemia minor
tidak memperlihatkan gejala klinis.1
Berdasarkan
laporan World Health Organization (WHO)
tahun 2006, sekitar 7 % penduduk dunia diduga carrier thalassemia dan sekitar 300.000-500.000 bayi lahir dengan
kelainan ini setiap tahunnya. Thalassemia merupakan salah satu kelainan genetik
dengan proporsi 1,67 % penduduk dunia sebagai penderita. Prevalensi gen
thalassemia tetinggi di negara-negara tropis, namun dengan tingginya angka
migrasi, penyakit ini telah ditemukan di seluruh dunia.2
Selain
thalassemia, terdapat pula penyakit keganasan yang dapat menyerang anak-anak
yakni leukimia. Leukemia
adalah kanker anak yang paling sering, mencapai lebih kurang 33% dari
kegasanasan pediatrik. Leukemia adalah
keganasan yang berasal dari sel-sel induk sistem hematopoietik yang
mengakibatkan ploriferasi sel-sel darah putih tidak terkontrol dan pada sel-sel
darah merah namun sangat jarang.3
Leukemia limfoblastik akut (LLA) berjumlah
kira-kira 75% dari semua kasus, dengan insidensi tertinggi pada umur 4 tahun.
Leukemia mieloblastik akut (LMA) berjumlah kira-kira 20% dari leukemia, dengan
insidensi yang tetap dari lahir sampai usia 10 tahun, meningkat sedikit pada
masa remaja. Leukemia sisanya ialah bentuk kronis yaitu leukemia limfositik
kronis (LLK) yang jarang ditemukan pada anak. Insidensi tahunan dari
keseluruhan leukemia adalah 42,1 tiap juta anak kulit putih dan 24,3 tiap
juta anak kulit hitam. Perbedaan itu terutama disebabkan oleh rendahnya
kejadian kejadian LLA pada orang kulit hitam. Gambaran klinis yang umum dari
leukemia adalah serupa karena semuanya melibatkan kerusakan hebat fungsi sumsum
tulang. Tetapi, gambaran klinis dan laboratorium spesifik berbeda dan ada
perbedaan dalam respon terhadap terapi dan perbedaan dalam prognosis.
Fisioterapi memainkan peran yang penting dalam
penanganan kasus ini. Fisioterapi dapat menangani dan mengontrol gejala, mencegah
komplikasi (misalnya infeksi pernafasan), pengembalian aktivitas fungsional,
dan meminimalisir efek pada sistem saraf.4
II. Tujuan
Penulisan
Penulisan
laporan ini bertujuan untuk :
A. Memberikan penjelasan mengenai intervensi
fisioterapi pada penderita thalassemia dan
Leukimia Limfoblastik akut.
B. Memberikan gambaran klinis terkait kondisi thalassemia
dan Leukimia Limfoblastik akut
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
I.
Tinjauan Umum
Thalassemia
A. Definisi
Thalassemia
berasal dari kata Yunani, yaitu thalassa yang
berarti laut. Yang dimaksud laut tersebut adalah Laut Tengah, oleh karena
penyakit ini mula-mula ditemukan di sekitar Laut Tengah. Thalassemia merupakan
kelainan genetik yang ditandai oleh penurunan atau tidak adanya sintesis satu
atau beberapa rantai polipeptida globin.5
Thalassemia
adalah kelainan kongenital, anomali pada eritropeisis yang diturunkan, dimana
hemoglobin dalam eritrosit sangat kurang. Oleh karena itu, akan terbentuk
eritrosi yang relatif mempunyai fungsi yang sedikit berkurang. Thalassemia
merupakan kelompok kelainan genetik heterogen yang timbul akibat berkurangnya
kecepatan sintesis rantai alpha atau beta.6,7
Penderita
thalassemia tidak mampu memproduksi salah satu dari protein tersebut dalam
jumlah yang cukup sehingga sel darah merahnya tidak terbentuk dengan sempurna.
Akibatnya, hemoglobin tidak dapat mengangkut oksigen dalam jumlah yang cukup.
Hal ini mengakibatkan anemia yang dimulai sejak usia anak-anak hingga sepanjang
hidup penderita. Thalassemia diturunkan oleh orang tua yang carrier kepada anaknya.8
B. Klasifikasi
Thalassemia
Secara
garis besar, thalassemia dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu thalassemia
alpha dan thalassemia beta sesuai dengan kelainan berkurangnya produksi rantai
polipeptida.9
i.
Thalassemia Alpha
Thalassemia
alpha biasanya disebabkan oleh delesi gen. Secara normal, terdapat empat buah
gen globin alpha. Oleh sebab itu, beratnya penyakit secara klinis dapat
digolongkan menurut jumlah gen yang tidak ada atau tidak aktif.7
Thalassemia
alpha dibagi menjadi : 10
a. Silent Carrier State (gangguan
pada 1 rantai globin alpha)
Kelainan
yang disebabkan oleh kurangnya protein alpha. Tetapi, kekurangannya hanya dalam
tingkat rendah. Akibatnya, fungsi hemoglobin dalam eritrosit tampak normal dan
tidak terjadi gejala klinis yang signifikan.
Silent carrier sulit dideteksi
karena penderitanya masih dapat hidup normal. Umumnya, baru dapat terdeteksi
ketika memiliki keturunan yang mengalami kelainan hemoglobin atau telah timbul
thalassemia alpha.
b. Thalassemia
Alpha Tait (gangguan pada 2 rantai globin alpha)
Thalassemia
alpha trait sering tidak bersamaan dengan anemia, tetapi volume eritrosit
rata-rata (MCV), hemoglobineritrosit rata-rata (MCH), dan konsentrasi
hemoglobin eritrosit rata-rata (MCHC) semuanya rendah dan hitung sel darah
merah di atas 5,5 x 1012/L. Penderita hanya mengalami anemia kronis
yang ringan dengan sel darah merah yang tampak pucat (hipokrom) dan lebih kecil
dai normal (mikrositik).
c. Hemoglobin
H Disease (gangguan pada 3 rantai globin alpha)
Delesi
tiga gen alpha menyebabkan anemia mikrositik hipokrom yang cukup berat (HGB
7-11 g/dl) disertai pembesaran limpa (splenomegali). Keadaan ini dikenal
sebagai penyalit hemoglobn H karena hemoglobin H dapat dideteksi dalam
eritrosit pasien melalui pemeriksaan elektroforesis atau sediaan retikulosit.
Gambaran klinis penderita dapat bervariasi dari tidak ada gejala sama sekali
hingga anemia yang berat yang disertai splenomegali.
d. Thalassemia
Alpha Major (gangguan pada 4 antai globin alpha)
Thalassemia
tipe ini merupakan kondisi yang paling berbahaya pada thalassemia tipe alpha.
Pada kondisi ini tidak ada rantai globin yang dibentuk sehingga tidak ada
hemoglobin A tau hemoglobin F yang diproduksi. Pada awal kehamilan, biasanya
janin yang menderita thalassemia alpha mayor mengalami anemia, membengkak
karena kelebihan cairan, pembesaran limpa. Janin yang mengamai kelainan ini
biasanya mengalami keguguran atau meninggal tidak lama setelah dilahirkan.
ii.
Thalassemia Beta
Thalassemia
beta merupakan kelainan yang disebabkan oleh kurangnya produksi protein beta.
Thalassemia
beta dibagi menjadi : 10
a. Thalassemia
Beta Trait (Minor)
Thalassemia
beta trait (minor) merupakan kelainan yang diakibatkan kekurangan protein beta.
Namun, kekurangannya tidak terlalu signifikann sehingga fungsi tubuh dapat
tetap normal. Gejala terparahnya hanya berupa anemia ringan sehingga dokter
seringkali salah mendiagnosis. Penderita thalassemia minor sering didiagnosis
mengalami kekuranganzat besi. Individu yang memiliki gejala seperti ini akan
membawa kelainan genetiknya tersebut untuk diturunkan kepana keturunannya
kelak. Penderita thalassemia minor merupakan carrier pada thalassemia beta.
b. Thalassemia
Intermedia
Pada
kondisi ini, kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa memproduksi sedikit
rantai beta globin. Penderita biasanya mengalami anemia yang derajatnya
tergantung dari mutasi gen yang terjadi.
Anemia,
pengapuran dan pembesaran pembuluh darah merupakan gejala yang ditimbulkan oleh
kekurangan protein beta dalam jumlah yang cukup signifikan. Rentang gejala
thalassemia intermedia dengan thalassemia mayor hampir mirip sehingga penderita
sering memperoleh kerancuan diagnosis. Indikator yang sering menjadi acuan
adala jumla transfusi darah yang diberikan pada penderita. Semakin sering
penderita menerima darah tansfusi, maka dapat dikategorikan sebagai thalassemia
mayor.
c. Thalassemia
Major (Cooley’s Anemia)
Kelainan
serius yang disebabkan karena tubuh sangat sedikit memproduksi protein beta
sehingga hemoglobin yang terbentuk akan cacat atau abnormal. Penderitanya akan
measakan gejala anemia akut sehinnga selalu membutuhkan transfusi darah dan
perawatan kesehatan secara rutin dan terus menerus. Pada kondisi ini, kedua gen
mengalami mutasi sehingga tidak dapat memproduksi rantai beta globin. Biasanya
gejala muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa anemia yang berat.10
C. Gambaran
Klinis
Berdasarkan
gejala klinis thalassemia dapat dibagi dalam beberapa tingkatan, yaitu mayor,
intermedia dan minor (pembawa sifat). Batas di antara tingkatan tesebut sering
tidak jelas.
Pada
thalassemia mayor, gejala klinis berupa muka mongoloid, pertumbuhan badan
kurang sempurna, pembesaran hati dan limpa, perubahan pada tulang karena
hiperaktivitas sumsum merah berupa deformitas dan fraktur spontan pertumbuhan
gigi biasanya buruk, sering disertai rarefaksi tulang rahang. Biasanya
mengalami anemia berat dan mulai muncul gejalanya pada usia beberapa bulan
serta menjadi jelas pada usia 2 tahun. Ikterus jarang terjadi dan bila ada
biasanya ringan.11
Pada
thalassemia intermedia umumnya tidak ada splenomegali, dan bila terjadi anemia
ringan, maka disebabkan oleh masa hidup eitrosit yang memendek. Sedangkan pada
thalassemia minor umumnya tidak dijumpai gejala klinis yang khas.11
D. Diagnosis
12
i.
Anamnesis
Keluhan
timbul karena anemia, pucat, gangguan nafsu makan, gangguan tumbuh kembang dan
perut membesar karena pembesaran limpa dan hati. Pada umumnya keluahn ini mulai
muncul pada usia 6 bulan.
ii.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan
fisik pada penderita thalassemia berupa pucat, bentuk muka mongoloid, dapat
ditemukan ikterus, gangguan pertumbuhan, splenomegali dan hepatomegali.
iii.
Pemeriksaan
Laboratorium
Pada
pasien denga thalassemia beta minor, akan mengalami anemia ringan dengan
hematokrit berkisar anatar 28 % sampa 40 %. Kadar MCV adalah antara 55-75 fL
dan angka eritrosit bisa normal atau meningkat. Apusan darah tepi menunjukkan
abnormalitas ringan, dengan hipokromi, mikrositosis, dan sel target. Selain
itu, bisa dijumpai basofil stippling. Angka
retikulosit bisa normal atau sedikit meningkat. Elektroforesis hemoglobim
menunjukkan peningkatan hemoglobin A2 samapai 4-8% dan kadang
didapatkan peningkatan hemoglobin F 1-5 %.
II. Tinjauan
Umum Leukimia Limfoblastik Akut (LLA)
A. Definisi
Leukimia
akut merupakan suatu penyakit serius, berkembang dengan cepat dan apabila tidak
diterapi dapat menyebabkan kematian dalam beberapa minggu atau bulan. Leukimia
akut dapat mempengaruhi jalan perkembangan sel limfoid akut atau jalur
perkembangan sel mieloid akut.13
Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah penyakit yang berkaitan dengan sel jaringan
tubuh yang tumbuhnya melebihi dan
berubah menjadi tidak normal serta bersifat ganas, yaitu sel-sel sangat muda
yang serharusnya membentuk limfosit berubah menjadi ganas.
LLA merupakan kanker yang paling banyak dijumpai pada anak, yaitu
25-30 % dari seluruh jenis kanker pada
anak. Angka kejadian tertinggi dilaporkan antara usia 3-6 tahun, dan laki-laki
lebih banyak daripada perempuan. Gejala lain yang perlu diwaspadai adalah tubuh
lemah dan sesak nafas akibat anemia, infeksi dan demam akibat kekurangan sel darah putih normal, serta pendarahan akibat kurangnya
trombosit.
Di Amerika Serikat, kira-kira 2400 anak dan remaja menderita LLA setiap tahun. Insiden LLA terjadi jauh lebih tinggi pada anak-anak kulit putih daripada kulit hitam. Perbedaan juga tampak pada jenis
kelamin, dimana kejadian LLA lebih
tinggi pada anak laki-laki kurang dari 15 tahun. Insiden kejadian 3,5 per
100.000 anak berusia kurang dari 15 tahun. Puncak insiden
pada umur 2-5 tahun dan menurun pada dewasa.
Pengobatan
pada LLA memiliki efek jangka pendek dan jangka panjang pada sistem
musculoskeletal dan neuromuskular, meskipun hanya sedikit yang meneliti tentang
pengaruhnya terhadap mobilitas fungsional. Marchese et all (2004), mencatat
beberapa efek jangka panjang dari penggunaan kemoterapi vincristine pada anak
dengan diagnosis LLA menjadi mengalami keterlambatan motorik kasar dan halus,
hipoesktensibilitas dari otot gastrocnemius dan soleus, penurunan energi,
disabilitas pengetahuan, nekrosis avascular, osteopenia dan osteoporosis.
Marchese et all (2004) dalam penelitiannya menunjukkan penguluran dan penguatan
otot secara signifikan meningkatkan kekuatan dorsofleksi plantaris dan ekstensi
knee joint. 4
Fisioterapi
harus melihat secara komprehensif gangguan musculoskeletal dan neuromuscular
yang terjadi pada anak akibat LLA. Myopathy proksimal umum terjadi pada anak
akibat penggunaan kortikosteroid dosis tinggi untuk pengobatan kanker.4
B. Klasifikasi
14
i.
Leukemia Lymphoblastic Akut (LLA)
LLA dianggap sebagai proliferasi ganas limfoblast. Sering terjadi pada
anak-anak, laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Puncak insiden usia 4
tahun, setelah usia 15 tahun LLA jarang
terjadi. Limfosit immatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan
perifer sehingga mengganggu perkembangan sel normal.
Secara morfologik menurut FAB LLA dibagi menjadi tiga yaitu:
a. L1: LLA dengan sel limfoblas kecil-kecil
dan merupakan 84% dari LLA.
b. L2: sel lebih besar, inti regular, kromatin bergumpal, nucleoli prominen
dan sitoplasma agak banyak. Merupakan 14% dari LLA
c. L3: LLA mirip dengan limfoma Burkitt,
yaitu sitoplasma basofil dengan banyak vakuola, hanya merupakan 1% dari LLA
ii.
Leukemia Nonlymphoblastik Akut
(ANLL)
Secara
morfologik yang umum dipakai adalah klasifikasi dari FAB:
a. M0- myeloblastic without differentiation
b. M1- myeloblastic without maturation
c. M2- myeloblastic with maturation
d. M3- acute promyelocytic
e. M4-acute myelomonocytic
f. M5-monocytic. Sub tipe
1) M5a: tanpa maturasi
2) Subtipe M5b: dengan maturasi
g. M6-erythroleukemia
h. M7-acute megakaryocytic leukemia
C. Etiologi14
i.
Faktor Predisposisi
a. Penyakit defisiensi imun tertentu, misalnya agannaglobulinemia; kelainan
kromosom, misalnya sindrom Down (risikonya 20 kali lipat populasi umumnya);
sindrom Bloom.
b. Virus. Virus sebagai penyebab sampai
sekarang masih terus diteliti. Sel leukemia mempunyai enzim trankriptase (suatu
enzim yang diperkirakan berasal dari virus). Limfoma Burkitt, yang diduga disebabkan
oleh virus EB, dapat berakhir dengan leukemia.
c. Radiasi
ionisasi. Terdapat bukti yang
menyongkong dugaan bahwa radiasi pada ibu selama kehamilan dapat meningkatkan
risiko pada janinnya. Baik dilingkungan kerja, maupun pengobatan kanker
sebelumnya. Terpapar zat-zat kimiawi seperti benzene, arsen, kloramfenikol,
fenilbutazon, dan agen anti neoplastik.
d. Herediter. Faktor herediter lebih sering
pada saudara sekandung terutama pada kembar monozigot.
e. Obat-obatan. Obat-obat imunosupresif, obat karsinogenik seperti diethylstilbestrol
ii.
Faktor Lain
a. Faktor eksogen seperti sinar X, sinar radioaktif, dan bahan kimia (benzol,
arsen, preparat sulfat), infeksi (virus dan bakteri).
b. Faktor endogen seperti ras
c. Faktor konstitusi seperti kelainan kromosom, herediter (kadang-kadang
dijumpai kasus leukemia pada kakak-adik atau kembar satu telur).
D. Manifestasi
Klinis 14
Gejala klinik leukemia akut sangat bervariasi, tetapi pada umumnya timbul
cepat, dalam beberapa hari sampai minggu. Gejala leukemia akut dapat digolongkan
menjadi tiga yaitu;
i.
Gejala kegagalan sumsum
tulang:
a. Anemia menimbulkan gejala pucat dan lemah. Disebabkan karena produksi sel
darah merah kurang akibat dari kegagalan sumsum tulang memproduksi sel darah
merah. Ditandai dengan berkurangnya konsentrasi hemoglobin, turunnya
hematokrit, jumlah sel darah merah kurang. Anak yang menderita leukemia
mengalami pucat, mudah lelah, kadang-kadang sesak nafas.
b. Netropenia menimbulkan infeksi yang ditandai demam, malaise, infeksi rongga
mulut, tenggorokan, kulit, saluran napas, dan sepsis sampai syok septic.
c. Trombositopenia menimbulkan easy
bruising, memar, purpura perdarahan kulit, perdarahan mukosa, seperti
perdarahan gusi dan epistaksis. Tanda-tanda perdarahan dapat dilihat dan dikaji
dari adanya perdarahan mukosa seperti gusi, hidung (epistaxis) atau perdarahan
bawah kulit yang sering disebut petekia. Perdarahan ini dapat terjadi secara
spontan atau karena trauma. Apabila kadar trombosit sangat rendah, perdarahan
dapat terjadi secara spontan.
ii.
Keadaan hiperkatabolik yang ditandai oleh:
a. Kaheksia
b. Keringat malam
c. Hiperurikemia yang dapat menimbulkan gout dan gagal ginjal
iii.
Infiltrasi ke dalam organ
menimbulkan organomegali dan gejala lain seperti:
a. Nyeri tulang dan nyeri sternum
b. Limfadenopati superficial
c. Splenomegali atau hepatomegali biasanya ringan
d. Hipertrofi
gusi dan infiltrasi kulit
e. Sindrom meningeal: sakit kepala, mual muntah, mata kabur, kaku kuduk.
f. Ulserasi rectum, kelainan kulit.
g. Manifestasi ilfiltrasi organ lain yang kadang-kadang terjadi termasuk
pembengkakan testis pada ALL atau tanda penekanan mediastinum (khusus pada Thy-LLA atau pada penyakit limfoma T-limfoblastik yang mempunyai hubungan dekat.
iv.
Gejala lain yang dijumpai
adalah:
a. Leukostasis terjadi jika leukosit melebihi 50.000/µL. penderita dengan
leukositosis serebral ditandai oleh sakit kepala, confusion, dan gangguan
visual. Leukostasis pulmoner ditandai oleh sesak napas, takhipnea, ronchi, dan
adanya infiltrasi pada foto rontgen.
b. Koagulapati dapat berupa DIC atau fibrinolisis primer. DIC lebih sering
dijumpai pada leukemia promielositik akut (M3). DIC timbul pada saat pemberian
kemoterapi yaitu pada fase regimen induksi remisi.
c. Hiperurikemia yang dapat bermanifestasi sebagai arthritis gout dan batu
ginjal.
d. Sindrom lisis tumor dapat dijumpai sebelum terapi, terutama pada LLA. Tetapi sindrom lisis tumor lebih sering dijumpai akibat kemoterapi.
E. Komplikasi15
i.
Infeksi
Komplikasi ini yang sering ditemukan dalam terapi kanker masa anak-anak
adalah infeksi berat sebagai akibat sekunder karena neutropenia. Anak paling
rentan terhadap infeksi berat selama tiga fase penyakit berikut:
a. Pada saat diagnosis ditegakkan dan
saat relaps (kambuh) ketika proses leukemia telah menggantikan leukosit normal
b. Selama terapi imunosupresi
c. Sesudah pelaksanaan terapi antibiotic yang lama sehingga mempredisposisi
pertumbuhan mikroorganisme yang resisten
Walau demikian , penggunaan faktor yang menstimulasi-koloni granulosit
telah mengurangi insidensi dan durasi infeksi pada anak-anak yang mendapat
terapi kanker. Pertahanan pertama melawan infeksi adalah pencegahan.
ii.
Perdarahan
Sebelum penggunaan terapi transfuse trombosit, perdarahan merupakan
penyebab kematian yang utama pada pasien leukemia. Kini sebagaian besar episode
perdarahan dapat dicegah atau dikendalikan dengan pemberian konsentrat
trombosit atau plasma kaya trombosit.Karena infeksi meningkat kecenderungan
perdarahan dan karena lokasi perdarahan lebih mudah terinfeksi, maka tindakan
pungsi kulit sedapat mungkin harus dihindari. Jika harus dilakukan penusukan
jari tangan, pungsi vena dan penyuntikan IM dan aspirasi sumsum tulang,
prosedur pelaksanaannya harus menggunakan teknik aseptic, dan lakukan
pemantauan kontinu untuk mendeteksi perdarahan.
Perawatan mulut yang saksama merupakan tindakan esensial, karena sering
terjadi perdarahan gusi yang menyebabkan mukositis. Anak-anak dianjurkan untuk
menghindari aktivitas yang dapat menimbulkan cedera atau perdarahan seperti
bersepeda atau bermain skateboard,
memanjat pohon atau bermain dengan ayunan.
Umumnya transfuse trombosit hanya dilakukan pada episode perdarahan aktif
yang tidak bereaksi terhadap terapi lokal dan yang terjadi selama terapi
induksi atau relaps. Epistaksis dan perdarahan gusi merupakan kejadian yang
paling sering ditemukan.
iii.
Anemia
Pada awalnya, anemia dapat menjadi berat akibat penggantian total sumsum
tulang oleh sel-sel leukemia. Selama terapi induksi, transfusi darah mungkin
diperlukan. Tindakan kewaspadaan yang biasa dilakukan dalam perawatan anak yang
menderita anemia harus dilaksanakan.
F. Pemeriksaan
Penunjang
Pemeriksaan
Laboratorium
i.
Hitung darah lengkap (Complete Blood Count) dan Apus Darah
Tepi.
a. Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat diagnosis.
Jumlah leukosit biasanya berbanding langsung dengan jumlah blas. Jumlah
leukosit neutrofil seringkali rendah.
b. Hiperleukositosis (> 100.000/mm3) terjadi pada kira-kira 15%
pasien dan dapat melebih 200.000/mm3.
c. Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia
d. Prporsi sel blast pada hitung leukosit bervariasi dari 0-100%
e. Hitung trombosit kurang dari 25.000/mm3
f. Kadar hemoglobin rendah
ii.
Aspirasi dan Biopsi sumsum
tulang
Apus sumsum
tulang tampak hiperselular dengan limpoblast yang sangat banyak lebih dari 90%
sel berinti pada LLA dewasa. Jika sumsum tulang
seluruhnya digantikan oleh sel-sel leukemia, maka aspirasi sumsum tulang dapat
tidak berhasil, sehingga touch imprint
dari jaringan biopsy penting untuk evaluasi gambaran sitologi.
Dari
pemeriksaan sumsum tulang akan ditemukan gambaran monoton, yaitu hanya terdiri
dari sel limfopoetik patologis sedangkan sistem lain terdesak (aplasia
sekunder).
iii.
Sitokimia
Pada LLA, pewarnaan Sudan Black dan
mieloperoksidase akan memberikan hasil yang negative. Mieloperoksidase adalah
enzim sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer dari precursor
granulositik yang dapat dideteksi pada sel blast AML.Sitokimia berguna untuk
membedakan precursor B dan B-LLA dari T-LLA. Pewarnaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang gans,
sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif pada pewarnaan periodic acid Schiff (PAS). TdT yang
diekspresikan oleh limpoblast dapat dideteksi dengan pewarnaan imunoperoksidase atau flow cytometry
iv.
Imunofenotif (dengan sitometri
arus/ Flow cytometry)
Reagen yang
dipakai untuk diagnosis dan identifikasi subtype imunologi adalah antibody
terhadap:
a.
Untuk sel precursor B: CD 10 (common ALL antigen), CD19,CD79A,CD22, cytoplasnic m-heavy chain, dan TdT
b.
Untuk sel T:
CD1a,CD2,CD3,CD4,CD5 ,CD7,CD8 dan TdT
c. Untuk sel B: kappa atau lambda CD19,CD20, dan CD22Sitogenetik
v.
Analisis sitogenetik sangat berguna karena beberapa kelainan sitogenetik
berhubungan dengan subtype LLA tertentu,
dan dapat memberikan informasi prognostik. Translokasi t(8;14), t(2;8), dan t
(8;22) hanya ditemukan pada LLA sel B, dan
kelainan kromosom ini menyebabkan disregulasi dan ekspresi yang berlebihan dari
gen c-myc pada kromosom
vi.
Biopsi limpa
pemeriksaan
ini memeperlihatkan poriferasi sel leukemia dan sel yang berasal dari jaringan
limpa yang terdesak, seperti limposit normal, RES, granulosit, dan pulp cell.
G. Pemeriksaan
Diagnostik16
Hitung darah lengkap dan diferensiasinya adalah indikasi utama bahwa
leukemia tersebut mungkin timbul. Semua jenis leukemia tersebut didiagnosis
dengan aspirasi dan biopsi sumsum tulang. Contoh ini biasanya didapat dari
tulang iliaka dengan pemberian anestesi lokal dan dapat juga diambil dari
tulang sternum. Pada leukemia akut sering dijumpai kelainan laboratorik
seperti:
1. Darah tepi
a. Dijumpai anemia normokromik-normositer, anemia sering berat dan timbul
cepat.
b. Trombositopenia, sering sangat berat di bawah 10 x 106/l
c. Leukosit meningkat, tetapi dapat juga normal atau menurun (aleukemic leukemia). Sekitar 25%
menunjukan leukosit normal atau menurun, sekitar 50% menunjukan leukosit
meningkat 10.000-100.000/mm3 dan 25% meningkat 100.000/mm3
d. Apusan darah tepi: khas menunjukan adanya sel muda (mieloblast,
promielosit, limfoblast, monoblast, erythroblast atau megakariosit ) yang
melebih 5% dari sel berinti pada darah tepi. Sering dijumpai pseudo Pelger-Huet Anomaly yaitu
netrofil dengan lobus sedikit (dua atau satu) yang disertai dengan hipo atau
agranular.
2. Sumsum tulang
Merupakan pemeriksaan yang sifatnya diagnostik. Ditemukan banyak sekali sel
primitif. Sumsum tulang kadang-kadang mengaloblastik; dapat sukar untuk
membedakannya dengan anemia aplastik. Harus diambil sampel dari tempat ini.
(Rendle.Ikhtisar Penyakit Anak.1994;184). Hiperseluler, hampir semua sel sumsum
tulang diganti sel leukemia (blast), tampak monoton oleh sel blast, dengan
adanya leukomic gap (terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel
yang matang, tanpa sel antara). System hemopoesis normal mengalami depresi.
Jumlah blast minimal 30% dari sel berinti dalam sumsum tulang (dalam hitung 500
sel pada apusan sumsum tulang).
3. Pemeriksaan immunophenotyping
Pemeriksaan ini menjadi sangat penting untuk menentukan klasifikasi
imunologik leukemia akut. Pemeriksaan inni dikerjakan untuk pemeriksaan surface marker guna membedakan jenis
leukemia.
4. Pemeriksaan
sitogenetik
Pemeriksaan kromosom merupakan pemeriksaan yang sangat diperlukan dalam
diagnosis leukemia karena kelainan kromosom dapat dihubungkan dengan prognosis.
H. Pengobatan4
Penanganan
pada kanker spesifik sesuai diagnosis dan usia anak. Terdapat 3 kunci modalitas
yang dikembangkan untuk menangani kanker : kemoterapi, radioterapi, dan bedah.
Transplantasi sumsum tulang juga biasa dimasukkan dalam daftar pengobatan
kanker.
1. Kemoterapi
Kemoterapi
merujuk pada penggunaan agen sitotoksik untuk menghancurkan sel-sel kanker
dengan menghentikan siklus hidupnya. Tujuan utama kemoterapi :
a. Mengobati
kanker
b. Mencegah
penyebaran sel kanker
c. Menghentikan
metastasis
d. Mengurangi
gejala yang timbul
e. Memperlambat
pertumbuhan sel kanker
Kemoterapi
dapat diberikan melalui 3 rute : oral, intravena, dan intrathecal. Efek samping
jangka pendek dari kemoterapi yang dapat mempengaruhi penanganan fisioterapi
berupa :
a. Anorexia,
nausea, vomitus
Terdapat
hubungan antara ketiganya. Mucositis pada mulut dan tractus gastrointestinal
dapat menyebabkan nyeri, akibatnya anak susah makan dan minum dan juga
mengalami kram pada perut. Beberapa agen kemoterapi menyebabkan vomituss karena
efek langsung pada pusat vomitus di medula oblongata..
Penurunan
berat badan, depresi dan energi yang kurang membuat penanganan fisioterapi
sulit dilakukan. Namun, penanganan sebaiknya diberikan dalam waktu yang
singkat.
b. Myelosupresi
Salah
satu efek samping kemoterapi adalah myelosupresi, penurunan produksi sel darah
merah, sel darah putih dan platelet oleh sumsum tulang, dan hal ini memberikan
efek yang besa dalam penanganan fisioterapi.
Anemia
dapat menyebabkan cepat leah, platelet yang rendah dapat membatasi aktifitas
fisik karena risiko perdarahan. Nilai platelet yang rendah (biasanya dibawah
20x109/l) juga membatasi penggunaan manual chest physiotherapy karena berkaitan dengan risiko
perdarahan. Penurunan sel darah putih, mempengaruhi kemampuan anak untuk
memulai atau melanjutkan program terapi. Antibiotik intravena dan pengobatan
antifungal untuk infeksi membuat aktivitas fisik lebih sulit dilakukan.
c. Neurotoxic
Nyeri
sensori neuropati atau gabungan sensorimotor/autonom neuropati dapat terjadi
bergantung pada obat yang diberikan. Efek yang ditimbulkan bergantung pada
dosis kumulatif, meskipuan masalahnya dapat terjadi pada awal pemberiaan obat.
Penyembuhan tergantung pada kemampuan dari sistem saraf tepi untuk memperbaiki
dirinya dengan kehadiran substansi toxic dan hal ini dapat berlangsung dalam
waktu yang lama. Terdapat dua obat yang
khususnya digunakan dalam penangan kanker dan memiliki efek neurotoxic :
1) Vincristine
utamanya mempengaruhi saraf sensoris tangan dan kaki, nyeri, parastesi muncul
dan refleks tendon menurun atau hilang. Vincristine biasanya digunakan untuk
pengobatan leukimia limfoblastik akut, tumor Wilms dan beberapa tumor CNS. Perkembangan
toxic, dapat menyebabkan kram pada otot, kelemahan otot tangan dan kako.
2) Cisplatin
dan carboplatin adalah dua obat yang juga memberikan efek neurotoxic. Cisplatin
lebh toxic daripada carboplatin. Keduanya lebih mempengaruhi saraf sensori
daripada saraf motorik. Efeknya berupa parastesi pada tangan dan kaki,
hilangnya refleks tendon, hilangnya propriosensor sendi dan pada beberapa kasus
menyebabkan ataxia.
d.
Steroid-induced
myopathy
Steroid digunakan dalam pengobatan beberapa
kanker. Dalam penggunaan yang lama, pola kelemahan otot dapat terjadi.
Kelemahan cenderung di proksimal daripada distal dan simetris daripada
asimetris. Ektremitas bawah cenderung lebih terpengaruh daripada ektremitas
atas. Masalah fungsional berupa naik tangga dan bangun dari kursi atau lantai
biasanya muncul dan juga ketidakmampuan berjalan dalam jarak dekat atau
menengah.
Tabel.
1 Ringkasan efek kemoterapi pada fisioterapi
|
1. Anak
mengalami penurunan toleransi latihan dan mudah lelah. Oleh karena itu,
penanganan fisioterapi dilakukan dalam tempo yang singkat dan membutuhkan
modifikasi sesuai perkembangan kondisi pasien.
2. Nilai
platelet harus dicek, jika dibawah 20x109/l, tidak boleh dilakukan
teknik manual chest.
3. Perhatikan
tanda neuropathy perifer dan proksimal myopathy dan harus ditangani ketika
ada indikasi.
4. Monitoring
perkembangan anak
5. Penggunaan
kateter vena sentral dapat menyebabkan nyeri leher, kekakuan, dan
mempengaruhi postur. Hal ini dapat ditangani dengan melakukan latihan gerak
sendi.
|
2. Radioterapi
Radioterapi
adalah penggunaan sinar X energi tinggi untuk menghancurkan sel kanker. Hal ini
normalnya dilakukan untuk mengobati satu area dimana tumor ditemukan.
Radioterapi biasanya dikombinasikan dengan kemoterai atau bedah.
3. Transplantasi
sumsum tulang
Transplantasi
sumsum tulang adalah proses yang mengambil sumsum tulang donor dan sel tersebut
ditransfusikan ke resipien. Hal ini dilakukan untuk pengobatan kanker pada anak
dengan prognosis yang buruk. Tujuan transplantasi sumsum tulang yaitu untuk
menghancurkan semua sel kanker.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Ganie,
A. 2005. Thalassemia : Permasalahan
dan Penanganannya. Universitas Sumatera Utara : Medan.
2. TIF.
2008. Guidelines for The Clinical
Management of Thalassemia. www. Thalassaemia.org.cy
3. Gale, Danielle dan Jane
Charette.2000. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
4. Mitchinson,
Victoria dan Jan Davies. 2007. Physiotherapi for Children. Elsevier
Health : Philadelphia.
5. Dewi,
Syarifurnama. 2009. Karakteristik
Penderita Thalassemia yang Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik
Medan Tahun 2006-2008 (skripsi). Fakultas Kesehatan Masyarakat USU : Medan.
6. Supandiman,
I. 1997. Hematologi Klinik. Penerbit
Alumni : Bandung.
7. Hoffbrand,
A dkk. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Penerbit
Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
9. Jones,
H. 1995. Catatan Kuliah Hematologi.
Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
10. PMI
Jatim. 2007. Thalassemia, Penyakit
Kelainan Darah yang Membutuhkan Transfusi. www.pmijatim.org.
11. Suyono,
S. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.
13. Rahmatia,
A dan Novianty R. 2006. At Glance
Medicine. Erlangga : Jakarta.
14.
Ariany, Arin. 2012. Leukimia Limfoblasti Akut (ALL). Asuhan
Keperawatan.
15. Wong, Donna L.2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatriks,Vol 2.Penerbit Buku Kedokteran EGC
: Jakarta.
16. Gale dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta
17. Howard W. Makofsky. 2003. Spinal Manual Therapy. New York.
18. Ck.Giam.Kc, Teh. 2004. The FITT Formula. Sport Medicine and Fitness a Guide For Every One.
Singapore Council.
19. Prentice, William E.
2002. Therapeutic Modalities For Physical
Therapist. McGraw-Hills Companies.
20. Neil, F.Gordon. 1989. The
Cooper Clinic And Research Institute Fittness Series. Dallas America
0 komentar:
Posting Komentar